Selasa, 22 Februari 2011

Dalam jaman penjajahan Belanda ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesatuan-kesatuan militer Belanda dan dipergunakan pula untuk pegawai-pegawai sipil mereka. Kekhawatiran tentang penjalaran penyakit cacar yang sangat berbahaya mendesak
Belanda untuk mendidik tenaga pembantu untuk melaksanakan vaksinasi cacar, yakni “vaccinateur” atau juru-cacar. Menurut sejarah pendidikan dokter, yang pertama dididik dalam apa yang disebut “dokter djawa school” atau sekolah dokter jawa adalah “vaccinateur”. Vaccinateur tersebut diberi pendidikan sederhana untuk pengobatan orang sakit sehingga ia dapat pula berfungsi sebagai “dokter jawa”.

Atas prakarsa Kepala jawatan Kesehatan (Tentara dan Sipil) pada waktu itu, Dr. W. Bosch, pada tanggal 1 Januari 1851 didirikan di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat), dibawah pimpinan Dr. P. Bleeker, sebuah sekolah untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi “Dokter Jawa”, yang lamanya pendidikan 2 tahun untuk dipekerjakan sebagai dokter pembantu (hulp-genesheer) dan bertugas memberi pengobatan dan vaksinasi cacar. Pada tahun 1856 mulai diterima masuk pendidikan pemuda-pemuda pribumi lainnya. Pada tahun 1864 pendidikan diperpanjang menjadi 3 tahun. Di tahun 1875 pendidikan dijadikan 7 tahun terdiri dari 2 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian kedokteran dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar yang sebelumnya adalah bahasa melayu (induk dari bahasa Indonesia kita sekarang). Pada tahun 1881 lamanya bagian persiapan dijadikan 3 tahun.

Mulai tahun 1890 para calon murid harus sudah lulus Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School). Di tahun 1902 bagian kedokteran dari 5 tahun dijadikan 6 tahun hingga seluruh pendidikan lamanya 9 tahun.  Nama sekolah diganti sebagai “School tot Opleiding van Inlandsche Artsen”, disingkat STOVIA dan lulusannya mendapat gelar “Inlandsch Arts” (dapat kita terjemahkan dengan “Dokter Bumiputera”).

Pada tahun 1913 dibuka sekolah dokter kedua di Surabaya dengan diberi nama “Nederlandsch Indische Artsen School” disingkat NIAS. Sekaligus lamanya pendidikan bagian kedokteran untuk kedua perguruan itu ditambah dengan satu tahun hingga lamanya pendidikan dokter seluruhnya menjadi 10 tahun sesudah Sekolah Dasar Belanda. Mulai tahun itu pula kedua perguruan terbuka bagi semua bangsa (tidak hanya bumiputera), hal mana antara lain atas desakan IEV (“Indo Europeesch Verbond”, suatu perkumpulan orang-orang pranakan Belanda); lulusannya mendapat gelar “Indisch Arts” (dapat kita terjemahkan dengan “Dokter Hindia”).

Mulai tahun 1924 baik STOVIA maupun NIAS tidak lagi menerima siswa lulusan sekolah dasar tetapi dari sekolah lanjutan pertama yang dinamakan MULO (Meer Ultgebreid lager Onderwijs) dan lamanya seluruh pendidikan dijadikan 8 tahun. Bahkan mulai tahun 1928 lamanya pendidikan di NIAS (STOVIA sudah diganti oleh Geneeskundi-Hoogeschool) adalah 9 tahun sesudah MULO tanpa penggunaan istilah bagain persiapan lagi).

Pada tanggal 16 agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) unutk mengganti STOVIA. STOVIA sendiri tidak lagi menerima siswa baru ttapi menyelesaikan pendidikan para siswanya yang sudah ada; sebagai lulusan terakhir adalah dokter Sanjoto yang lulus dalam tahun 1934 dan pada waktu itu pula dengan resmi STOVIA ditutup. Lamanya pendidikan di Geneeskundi-Hoogeschool adalah 7 tahun sesudah Sekolah Lanjut Atas (AMS) atau Sekolah Menengah BElanda (HBS). Secara resmi nilai ijasah GH Betawi ditetapkan tidak berbeda dari ijazah fakultas-fakultas kedokteran di negeri Belanda.

Dalam iklim kolonial hak penjajah menganggap bangsa kita lebih rendah daripadanya juga dalam hal kecerdasan dan tata susila; lagi pula pola pendidikan yang diberikan kepada anak-anak pribumi pada dasarnya hanya mempunyai tujuan untuk menghasilkan pekerja-pekerja pembantu dalam roda pemerintahan dan perdagangan mereka yang berarti harus dibatasi. Mengingat hal itu perkembangan pendidikan dokter seperti yang diuraikan diatas terutama dalam taraf meningkatnya menjadi perguruan tinggi tidaklah terlepas dari romantika perjuangan.

Untuk menghalang-halangi bangsa Indonesia mencapai kedudukan dokter keluaran suatu perguruan tinggi, pada suatu saat “Bond van Europeesche Geneescheren” (Ikatan Dokter Eropa) mengemukakan pendapat bahwa seorang dokter akademikus Indonesia: “hanya akan bermain-main dengan pasien wanitanya sebagai pengisi waktu dan akan melakukan abortus sebagai usaha mencari nafkah yang mudah”.

Pada tahun 1908 menghadapi reorganisasi Jawatan Kesehatan Sipil, ada usaha untuk menurunkan pendidikan di STOVIA dan dengan demikian sekaligus menutup kesempatan bagi lulusannya untuk emndapatkan fasilitas melanjutkan pelajarannya di universitas di negeri Belanda guna mencapai gelar “Arts”. Padahal fasilitas ini adalah hasil perjuangann Dr. Abdul Rival dalam tahun 1904 yang untuk pertama kalinya digunakan oleh Dr. Asmaoen, disusul oleh Dr. Abdul Rival sendiri sebagai orang kedua, kemudian disusul oleh dokter-dokter M.J. Boenjamin, J.E. Tehupeiory, W.K. Tehupeiory, R. Tumbelaka, R. radjiman, P. Laoh, H. F. Lumentut, H.J.P. Apituley, J.A. Kawilaraang, M. Salih, dll sebagai perintis, semuanya dengan hasil gemilang. Tidak jadinya penuruan pendidikan STOVIA adalah hasil perjuangan Dr. W.K. Tehupeiory dan Dr. H.F. Roll, direktur STOVIA pada waktu itu, dibantu oleh Dr. H. Noordhoek Hegt penggantinya.

Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1927 adalah juga hasil perjuangan para dokter Indonesia dengan pendapat-pendapat menyokong dari direktur dan mantan direktur STOVIA dan NIAS. Yang melontarkan kata pertama tidak lain adalah Dr. Abdul Rival di hadapan siding “Volksraad” (sebuah parlemen kolonial Hindia Belanda) dalam tahun 1918; disana ia mengusulkan diadakannya pendidikan universiter di Indonesia. Dari pihak “Indische Artsen Bond” (Ikatan Dokter Indonesia) duduk dalam “Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran” adalah dokter-dokter J. Kajadoe, Abdoel rasjid dan R. Soetomo.

Meskipun laporan hasil kerja panitia termaksud, yang mendesak didirikannya sebuah Perguruan Tinggi Kedokteran di Salemba, diterbitkan dalam tahun 1922, tetapi barulah di tahaun 1927 menjadi kenyataan. Berkat perjuangan dokter-dokter Indonesia ijazah Perguruan Tinggi Kedokteran Betawi disamakan dengan ijazah fakultas-fakultas kedokteran di neggeri Belanda.

 Pada tahun 1953 oleh WHO didatangkan suatu “visiting team” yang terdiri dari ahli-ahli ilmu kedokteran yang dikumpulkan dari pelbagai negara untuk member ceramah-ceramah di universitas-universitas di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta,  Medan dan beberapa kota besar lainnya. Sejak saat itu keengganan unutk kerja sama dengan negara-negara lain dapat dihilangkan dan mulailah program-program afiliasi dari universitas di Indonesia dengan universitas di luar negeri yang kemudian disusul oleh program-program kerjasama lainnya. Dengan demikian pertukaran ahli dapat dilaksanakan dengan mudah dan pendidikan spesialis-spesialis dalam berbagai bidang dapat dipercepat. Sistem pendidikan dokter yang tadinya sangat sedikit hasilnya dapat diperbaharui hingga jumlah hasilnya dapat dilipatgandakan. Penambahan jumlah fakultas kedokteran yang didirikan di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Jawa telah meningkatkan dengan cepat kemampuan Pemerintah untuk mengisi jabatan-jabatan di kabupaten-kabupaten dan selanjutnya kecamatan-kecamatan. Demikianlah secara sederhana dan singkat riwayat Pendidikan Kedokteran di Indonesia.  Pada saat ini pendidikan kedokteran telah berkembang dengan pesat. Kemajuan di bidang teknologi memaksa kita mengikuti kemajuan ilmu kedokteran secara berkelanjutan. Pendidikan kedokteran juga telah berkembang dengan pesat. Pendidikan dokter bukan saja dilaksanakan oleh perguruan tinggi tetapi pihak swasta pun telah pula melaksanakannya. 

ada  pertanyaan untuk kita semua...

Betapa sulitnya pendidikan kedokteran saat itu,

Betapa perihnya perjuangan para tokoh saat itu,

akankah kita nodai dengan tinta-tinta keburukan saat ini ?

0 komentar: